Minggu, 20 Agustus 2017

UPACARA RITUAL AGAMA KAHARINGAN DAN PILOSOFISNYA DI DALAM UPACARA RITUAL TIWAH



UPACARA RITUAL AGAMA HINDU KAHARINGAN DAN PILOSOFISNYA
TUJUAN UPACARA RITUAL TIWAH.

Tiwah merupakan Upacara Ritual kematian tingkat terakhir bagi umat beragama Hindu Kaharingan.
Upacara ritual Tiwah mempunyai 5 (Lima) tujuan yaitu:
1.Untuk melepaskan segala macam sial (pali belum) dari Tarantang nule/anggota pelaksana upacara ritual tiwah.
2. Untuk mengantarkan Roh Liau Balawang Panjang (kejadiankejadian zat bapak).
3.Mengantarkan Roh Liau Karahang Tulang (kejadian zat ibu).
4. Mengantarkan Roh Liau Haring Kaharingan dan
5 Menyatukan 4 unsur diatas  dengan Roh Panyalumpuk (kekuasaan Ranying Hatala yang masuk melalui ubun-ubun ketika manusia lahir/keluar dari rahim ibu dan menyebabkan adanya napas kehidupan
Keterangan:
Roh Haring Kaharingan adalah Roh yang menggerakan jantung bayi semenjak dari dalam kandungan sehingga darah berputar mengalir disekujur tubuh dan bayi tersebut sudah hidup namun belum bernapas selama didalam kandungan/Rahim ibu.
Menurut ajaran Agama Hindu Kaharingan terjadinya Unsur: Liau Balawang Panjang,Liau Karahang Tulang dan Liau Haring Kaharingan adalah perbuatan manusia sehingga manusia juga yang mengurus dan mengantarkannya ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang,Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat,Lewu Tatau Je Habaras Bulau Habusung Hintan,Hakarangan Bawak Lamiang (Sorga/Alam Ranying Hatala).
Sedangkan Roh Panyalumpuk adalah perbuatan Ranying Hatala (Tuhan Yang Maha Esa) sehingga pada saat kematian akan kembali dengan sendirinya kepada Ranying Hatala tanpa ada ritualnya.
Tanpa adanya penyatuan 4 Roh tersebut maka mustahil manusia bisa hidup di dunia ini dan mustahil bisa hidup di lewu tatau/sorga.
Dengan demikian maka kematian Umat Manusia Agama Hindu Kaharingan merupakan proses kelahiran manusia kembali kealam Ranying Hatala/Sorga.
Dengan proses tersebut maka sempurnalah Manusia itu hidup dialam Ranying hatala.
Itulah tujuan dari upacara ritual Tiwah bagi umat beragam Hindu Kaharingan.

PILOSOFIS SAPUNDU DALAM UPACARA RITUAL TIWAH.
  Di dalam upacara Ritual Tiwah sudah tentu adanya Sapundu (patung dari kayu sebagai tempat mengikat kerbau/sapi sebagai hewan korban),dan itu secara umum kita lihat tanpa memandang dari segi pilosofisnya,namun apabila di lihat dari segi pilosofinyanya maka fungsi Sapundu dalam upacara keagamaan Hindu Kaharingan yakni Upacara Ritual Tiwah adalah sbagai Jipen (pegawai/kariawan) yang bertugas khusus untuk memelihara Kerbau ataupun Sapi semenjak diadakan/dilaksanakanya Upacara Ritual Tiwah,dan tugas itu berlanjut sampai ke Lewu Tatau (sorga).
Hal ini dapat di ketahui langsung pada saat Basir (Rohaniwan Agama Hindu Kaharingan) menyatakan pekerjaan Sangiang Raja Duhung Mama Tandang,Langkah Sawang Apang Bungai Sangiang (malaikat yang ditugaskan khusus oleh Ranying Hatala untuk melaksanakan Upacara Ritual bagi kematian dari yang terkecil hingga tingkat terakhir Tiwah melalui Basir/Rohaniwan Hindu Kaharingan) dalam ayat-ayat suci Balian Nyalupu Paramun Ngentang Tiwah Tingang.
Segala jenis peralatan Upacara Ritual Tiwah sebenarnya semua diterangkan fungai dan tujuanya dalam ayat suci "Balian Nyalupu" saat Upacara Ritual Tiwah tersebut.
Jadi apabila ada pilosfis lain yang sifatnya mengejek atau menjelek-jelekan Upacara Ritual Tiwah dan pilosofis-pilosofisnya adalah perbuatan oknum yang mengada-ada tanpa bukti jelas (fitnah).
     
FUNGSI PENOMBAKAN SAPI ATAU KERBAU DALAM UPACARA TIWAH
   Didalam pelaksanaan Upacara Ritual Tiwah tepatnya pada upacara puncak (Tabuh) sering kita lihat anggota pelaksan upacara Ritual Tiwah melakukan penombakan hewan korban berupa Sapi atau Kerbau,dan ini tentunya menimbulkan pertanyaan didalam hati kitakita "mengapa hewan korban harus ditombak,apakah tidak bisa disembelih langsung supaya tidak menyiksa binatang"?
Jawabanya adalah tidak bisa dan harus di tombak apabila hewan korban itu bertujuan untuk hewan Korban Tiwah,namun dalam upacara non tiwah tidak diperbolehkan melakukan penombakan.
   Hal ini dikarenakan barang siapa ikut melakukan penombakan sehingga mengeluarkan darah dari hewan korban tersebut meskipun hanya setetes artinya orang itulah yang diketahui oleh "sang arwah" yang telah turut serta menyumbangkan hewan korban tersebut kepadanya,hal itu dapat diketahui oleh arwah melalui tetesan darah hewan korban tersebut,jadi darah yang keluar dari hewan korban tersebut merupakan isyarat atau tanda dan dengan kata lain darah itu merupakan sidik jari anggota yang memberikan Sapi atau Kerbau tersebut sebagai hewan peliharaan terbesar arwah di Lewu Tatau (sorga).
Dengan adanya sidik jari/tanda tersebut akan memudahkan sang arwah mengetahui kepada siapasiapa iya memberikan imbalan pahala nantinya setelah iya sudah berada di lewu tatau karena iya sudah dapat berkomunikasi langsung kepada Ranying Hatala dan dapat dengan mudah memohon kepada Ranying Hatala tanpa melalui perantara.
Jadi tujuan penombakan hewan korban dalam upacara adalah menandakan/sidik jari adanya pemberian hewan korban dari anggota tiwah kepada arwah dan disebut "bagin liau".
Jadi itulah sebabnya apabila hewan korban untuk keperluan upacara lain selain tiwah tidak di lakukan penombakan dikarenakan hewah korban tersebut bukanlah "Bagin Liau".

     MANGANJAN
   Sepintas lalu didalam upacara Ritual keagamaan umat Hindu Kaharingan yakni Tiwah ada sebuah kegiatan yang mirip dengan tariantarian atau hiburan belaka.
Namun hal itu tidak seperti yang kita lihat,kegiatan "Manganjan" tersebut bukanlah tarian sebagai hiburan belaka melainkan diwajibkan bagi anggota yang merasa meniwahkan sanak keluarga atau siapa saja yang ditiwahkan,hal ini di karenakan pada saat melakukan Manganjan mengelilingi "Sangkai Raya" maka pada saat itu anggota/Tarantang Nule menerima Pantis Nyalung Kaharingan Belum (menerima tetesan air suci kehidupan) yang berasal dari Sangkai Raya/Sangkai Undan. Sangkai Raya pada saat upacara tiwah selalu meneteskan air suci kehidupan semenjak basir melakukan "Balian Nyalupu Paramun Ngentang Tiwah Tingang",tepatnya pada saat balian tersebut Basir/Rohaniwan mengucapkan pekerjaan Malaikat Ranying Hatata yakni Sangiang Raja Duhung Mama Tandang sedang "Nyalupu/menyatukan" Garing Sangkai Raya Mendeng dengan Kayu Turun Bulau dan Kayu Tapang Bulau Rekap Sambe (kayu yang diabadikan Ranying Hatala untuk selalu meneteskan Air Suci Kehidupan).
Jadi bagi Tarantang Nule yang ikut Manganjan akan terkena tetesan Air Suci Kehidupan tersebut,yang sedang sakit akan segera sembuh,yang sehat akan bertambah sehat dan hidup berumur panjang karena air suci kehidupan tersebut mengandung obat-obatan untuk menyembuhkan segala macam penyakit dan memberikan umur panjapanjang bagi mereka yang menerimanya.
Bagaimanakah bagi anggota yang tidak punya waktu untuk ikut manganjan?
Itu tergantung kepada Basir untuk Memerintahkan Sangiang yang bertugasbertugas karena sangiang wajib menuruti perintah basir saat melaksanakan upacara Ritualnya sesuai dengan pesan suci Ranying Hatala (Wahyu) sebelum Maharaja Bunu diturunkan dari Sorga (Alam Ranying Hatala) ke Bumi ini Ranying Hatala Bersabda:
"iyoh bitim Raja Bunu, ela bitim ngumpang ngabehu huang dengan tambun paharim sintung due tagal bitim puna bagin matei,dapit jeha atun ungkup hamputanhamputan tambun paharim sintung due je cagar masi mawat tuntang mandohop ungkupungkup hamputan ayum buli haluli manalih aku".
Artinya:
Wahai engkau Raja Bunu,hendaknya engkau tidak perlu merasa iri ataupun cemburu kepada kedua saudaramu atas dirimu nantinya akan mengalami kematian,dari keturunan kedua saudaramu lah yang nantinya menolong keturunan kamu kembali lagi kepadaku.
Keturunan kedua saudara Raja Bunu yang dimaksud adalah Sangiang Raja Duhung Mama Tandang,Langkah Sawang Apang Bungai Sangiang.
FiLOSOPIS GERAKAN MANGANJAN

Sedangkan gerakan berirama dalam manganjan mempunyai arti dan tujuan tertentu yakni:
• Merentangkan kedua belah tangan sambil membuka kedua belah telapak tangan lalu menurumenurunkanya kebawah artinya melepaskan segala sial.
• kemudian merapatkan kedua genggaman tangan seoalah-olah mengambil sesuatu adalah menarik kekuatan alam semesta di sekitar kita yang mengandung segala kebaikan dan umur panjang,setelah itu kedua genggaman tangan diangkat kearah bagian pusat lalu menarik napas panjang lalu meneguknya (tarik kunci).
Hal itu dilakukuan berulang-ulang dalam manganjan.

 MALAHAP

   Malahap adalah sebuah teriakan berirama saat melakukan manganjan atau beberapa kegiatan lain dalam upacara ritual keagamaan Hindu Kaharingan.
Terikan tersebut sudah pasti mempunyai tujuan tertentu dan bukan teriakan sembarangan.
Adapun tujuan malahap adalah membuka pintu langit dan menggerakan kekuasaan Ranying Hatala dari langit supaya memberkatimemberkati apa yang sedang dilakukan oleh Tarantang Nule.
Namun didalam upacara ritual keagamaan Hindu Kaharingan Lahap terbagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Lahap untuk tujuan upacara ritual kematian (upacara ritual Tiwah)
2. Lahap untuk tujuan upacara ritual kehidupan (perkawinan,nampung sahur dan lain-lain bagi kehidupan manusia).
Tata cara melakukan manganjan saat upacara ritual tiwah adalah sebagai berikut:
° Ketika merentangkan tangan dan menggerakkannya ke bawah maka posisi telapak tangan dibiarkan terbuka yang diiringi dengan hembusan napas.
° Setelah mencapai arah yang dianggap sedang maka telapak tangan yang tadinya terbuka mulai di kepal diiringi tarikan napas sambil mengarahkan kepalan tangan ke pusar
° Setelah kepalan tangan mencapai pusar maka tindakan yang dilakukan adalah meneguk napas yang tadinya di tarik masuk beriringan dengan kepalan tangan tiba di bagian pusar (tarik kunci),hal ini bertujuan untuk mengunci kekuatan alam semesta disekitar kita di dalam tubuh kita.


Demikianlah ulasan beberapa bagian tentang upacara ritual keagamaan Agama Hindu Kaharingan yakni Upacara Ritual Tiwah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar