Setelah manusia
kembali ke alam Ranying Hatala melalui kematian maka nenek moyang umat manusia Suku Dayak tidak mengetahui bagaimana Tatacara Upacara Ritual
untuk mengurus orang yang sudah meninggal dunia maupun tatacara upacara
ritual bagi kehidupannya karena terjadinya perbedaan bahasa yang
menimbulkan Suku Dayak Terbagi menjadi berbagai suku dan hidup berjauhan
mencari tempat atau aliran sungai masing-masing sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Apabila ada yang meninggal dunia maka dibiarkan begitu saja membusuk
dan bangkainya dimakan biawak, burung gagak dan hewan pemakan
bangkai lainnya.
Begitu juga apabila mereka mengalami kekurangan dan
lelemahan di dalam kehidupannya mereka tidak tahu harus bagaimana dan
harus memohon kepada siapa untuk menguatkan iman dalam mengatasinya
berbagai masalah kehidupan yang di alami mereka. Menyadari dan
melihat umat manusia telah melupakan ajaran yang telah diberikan kepada
manusia yang kembali ke Alam Ranying Hatala tanpa melalui kematian telah
dilupakan oleh anak cucu Maharaja Bunu, maka Ranying Hatala Memerintahkan
Malaikatnya yang bernama Raja Singkuh Batu untuk mencari/memilih
malaikat yang cocok untuk mengajarkan kembali pesan-pesan suci yang
pernah di ajarkan Ranying Hatala sebelum manusia/Raja Bunu di turunkah
ke bumi Dayak dan kesimpulannya terpilihlah Nyai Endas Bulau Lisan
Tingang dengan membawa anggotanya yang sebanyak Seratus Enam Puluh
Laki-laki dan Seratus Enam Puluh Perempuan dari Lewu Telu Ije Kalabuan
Banama di Pantai Sangiang/ Khayangan.
Selanjutnya mereka turun ke Bumi Dayak tepatnya di Desa Tutuk Juking/Tangkahen. Rombongan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Anggotanya Di sebut dengan nama "Bawi Ayah" dan mereka mengajarkan kembali pesan-pesan suci dari Ranying Hatala/Wahyu yang dulunya pernah diajarkan oleh Ranying Hatala. Karena banyaknya kumpulan berbagai suku yang belajar sehingga desa tersebut menjadi padat dan "orang-orang/Suku" yang datang dari jauh tidak dapat belajar langsung namun melihat dari atas pohon dan meraba-raba apa yang dilakukan dan adanya perbedaan bahasa pada saat pengajaran upacara Ritual bagi kehidupan maupun Kematian.
Itulah sebabnya terjadi perbedaan Upacara Ritual di berbagai Daerah di Pulau Dayak dan dari daerah aliran sungai Kahayanlah Upacara Ritual Itu yang lebih akurat dari daerah lain. Jadi tidaklah diherankan meskipun upacara ritual itu bertujuan sama namun ada perbedaan tatacara dalam pelaksanaannya dikarenakan hal tersebut diatas sehingga semakin jauh dari aliran sungai Kahayan makan semakin jauh juga perbedaan tatacara upacara ritual.
Selanjutnya mereka turun ke Bumi Dayak tepatnya di Desa Tutuk Juking/Tangkahen. Rombongan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Anggotanya Di sebut dengan nama "Bawi Ayah" dan mereka mengajarkan kembali pesan-pesan suci dari Ranying Hatala/Wahyu yang dulunya pernah diajarkan oleh Ranying Hatala. Karena banyaknya kumpulan berbagai suku yang belajar sehingga desa tersebut menjadi padat dan "orang-orang/Suku" yang datang dari jauh tidak dapat belajar langsung namun melihat dari atas pohon dan meraba-raba apa yang dilakukan dan adanya perbedaan bahasa pada saat pengajaran upacara Ritual bagi kehidupan maupun Kematian.
Itulah sebabnya terjadi perbedaan Upacara Ritual di berbagai Daerah di Pulau Dayak dan dari daerah aliran sungai Kahayanlah Upacara Ritual Itu yang lebih akurat dari daerah lain. Jadi tidaklah diherankan meskipun upacara ritual itu bertujuan sama namun ada perbedaan tatacara dalam pelaksanaannya dikarenakan hal tersebut diatas sehingga semakin jauh dari aliran sungai Kahayan makan semakin jauh juga perbedaan tatacara upacara ritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar