Senin, 17 Oktober 2016

AWAL TERJADINYA PERBEDAAN BAHASA DI DAYAK MENURUT SUKU DAYAK NGAJU.


      Pada zaman dahulu kala umat manusia telah mendiami bumi selama sembilan turunan dan selama sembilan turunan itu manusia masih belum bisa mati/meninggal dunia. Dan pada saat itu manusia pertama yakni Maharaja Bunu seringkali menceritakan indah dan ramainya alam khayangan/sangiang serta di mana tempat persemayaman Ranying Hatala/Tuhan Yang Maha Esa dan pesan-pesan suci dari Ranying Hatala sebelum mereka diturunkan oleh Ranying Hatala ke Bumi ini dari alam lapis tujuh.
       Setelah sembilan turunan dilalui hingga tibalah turunan selanjutnya tibalah saatnya Ranying hatala menjemput Maharaja Bunu serta keturunannya yang sudah berumur sembilan turunan dan mengambilnya satu persatu sesuai janjinya mendiami bumi tanpa melalui kematian. Setelah habis manusia sembilan turunan tersebut manusia masih belum ada yang meninggal dunia karena rata-rata berumur panjang. Namun rasa rindu dengan nenek moyang yakni Maharaja Bunu dan keturunannya yang telah kembali ke alam Hatala tanpa melalui kematian tidak akan pernah luput dan hilang dari ingatan mereka sehingga menghadirkan persatuan dan keinginan yang kuat untuk menyusul nenek moyang mereka kealam Hatala dengan cara mambangun menara yang besar dan tinggi dari ulin hingga mencapai langit lapis tujuh untuk bisa bertemu nenek moyang mereka dan ingin bertemu langsung dengan Ranying Hatala sehingga akhirnya mereka di buatlah menara tinggi mencakar langit namun belum ada tanda-tanda melewati langit lapis satu.  Namun usaha dan kegigihan mereka tidak akan pernah berhenti meskipun belum melewati langit lapis satu.
       Melihat hal itu, Ranying Hatala yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, dan Ranying Hatala itu Maha ada, Maha Tau dan Maha segalanya tentunya tidak ingin melihat manusia bersusah payah mencapai langit lapis tujuh dan berusaha ingkar dengan takdir mereka yang tidak bisa bertemu dengan Ranying Hatala tanpa melalui kematian sehingga Ranying Hatala mengatasinya dengan kekuasaanya untuk membatalkan niat umat manusia.
        Karena kebesaran kekuasaan Ranying Hatala sehingga tumbuhlah jamur-jamur yang kelihatan enak di makan pada nenara tersebut. Jamur-jamur itu disebut oleh umat manusia pendiri menara dengan nama "Kulat Sipa" kerena jamur tersebut berwarna merah seperti darah/ air simpa, dan semua yang bekerja mendirikan menara itu tanpa ragu-ragu memakan jamur-jamur tersebut bersama-sama karena mereka sangat yakin jamur tersebut adalah pemberian dari Ranying Hatala sebagai makanan untuk mempermudah pekerjaan mereka dengan tidak perlu repot mengambil bahan makanan dari rumah mereka.
       Namun setelah memakan jamur-jamur tersebut mereka senua nengalami perubahan bahasa dan saling tidak mengerti apa yang di katakan satu sama lain sampai sampai ada yang meminta memegang bahan malah melepaskan, ada yang meminta memasang malah melepaskan, ada yang meminta disambungkan malah dipotong yang dikerjakan hingga akhirnya yang dikerjakan malah dibongkar habis hingga rata dengan tanah seperti sedia kala.
     Hal itulah yang memisahkan mereka dari persatuan hingga mereka hidup terpecah belah karena terjadi perbedaan bahasa serta mereka semua lupa akan Ajaran atau Wahyu dari Ranying Hatala yang berguna bagi kehidupan mereka sehingga keturunan-keturunan mereka tidak tahu tatacara rukun kematian dari mnemandikan jenazah, penguburan dan lain sebagainya.

AWAL TERJADINYA PERBEDAAN UPACARA RITUAL


        Setelah manusia kembali ke alam Ranying Hatala melalui kematian maka nenek moyang umat manusia Suku Dayak tidak mengetahui bagaimana Tatacara Upacara Ritual untuk mengurus orang yang sudah meninggal dunia maupun tatacara upacara ritual bagi kehidupannya karena terjadinya perbedaan bahasa yang menimbulkan Suku Dayak Terbagi menjadi berbagai suku dan hidup berjauhan mencari tempat atau aliran sungai masing-masing sesuai dengan kehendak mereka sendiri.  Apabila ada yang meninggal dunia maka dibiarkan begitu saja membusuk dan bangkainya dimakan biawak, burung gagak dan hewan pemakan bangkai lainnya.
        Begitu juga apabila mereka mengalami kekurangan dan lelemahan di dalam kehidupannya mereka tidak tahu harus bagaimana dan harus memohon kepada siapa untuk menguatkan iman dalam mengatasinya berbagai masalah kehidupan yang di alami mereka. Menyadari dan melihat umat manusia telah melupakan ajaran yang telah diberikan kepada manusia yang kembali ke Alam Ranying Hatala tanpa melalui kematian telah dilupakan oleh anak cucu Maharaja Bunu, maka Ranying Hatala Memerintahkan Malaikatnya yang bernama Raja Singkuh Batu untuk mencari/memilih malaikat yang cocok untuk mengajarkan kembali pesan-pesan suci yang pernah di ajarkan Ranying Hatala sebelum manusia/Raja Bunu di turunkah ke bumi Dayak dan kesimpulannya terpilihlah Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dengan membawa anggotanya yang sebanyak Seratus Enam Puluh Laki-laki dan Seratus Enam Puluh Perempuan dari Lewu Telu Ije Kalabuan Banama di Pantai Sangiang/ Khayangan.
        Selanjutnya mereka turun ke Bumi Dayak tepatnya di Desa Tutuk Juking/Tangkahen. Rombongan Nyai Endas Bulau Lisan Tingang dan Anggotanya Di sebut dengan nama "Bawi Ayah" dan mereka mengajarkan kembali pesan-pesan suci dari Ranying Hatala/Wahyu yang dulunya pernah diajarkan oleh Ranying Hatala.  Karena banyaknya kumpulan berbagai suku yang belajar sehingga desa tersebut menjadi padat dan "orang-orang/Suku" yang datang dari jauh tidak dapat belajar langsung namun melihat dari atas pohon dan meraba-raba apa yang dilakukan dan adanya perbedaan bahasa pada saat pengajaran upacara Ritual bagi kehidupan maupun Kematian.
         Itulah sebabnya terjadi perbedaan Upacara Ritual di berbagai Daerah di Pulau Dayak dan dari daerah aliran sungai Kahayanlah Upacara Ritual Itu yang lebih akurat dari daerah lain.  Jadi tidaklah diherankan meskipun upacara ritual itu bertujuan sama namun ada perbedaan tatacara dalam pelaksanaannya dikarenakan hal tersebut diatas  sehingga semakin jauh dari aliran sungai Kahayan makan semakin jauh juga perbedaan tatacara upacara ritual.